About Me

Foto saya
Purwokerto, Jawa Tengah, Indonesia
Assalamu'alaikum.. salam kenal, namaku Astrie Damayanti. Mahasiswi Kebidanan Poltekkes Kemenkes Semarang. Silahkan menikmati cerita yang kubagi...

Kamis, 02 Februari 2012

Cintaku Bimbang

Sore merekah dalam senja merah yang terlukis indah di hamparan luas langit biru. Tergores tipis putih bersih menyatukan warna di batas keduanya . Walau si bundar bercahaya tak nampak tegas, ia mampu menyilaukan mata. Layar agung yang tergelar penuh pesona, sedikit terhalang dengan bangunan rumah ataupun gedung. Betapa kecilnya aku yang memandang pertunjukan alam dari sudut pijak lingkaran ini. Menjinjitpun tak mampu melihat semua warna yang langit tampilkan. Namun paras keanggunan dapat kuintip di balik sela kelelahan yang memburuku. Kuliah dari pagi hingga sore jam tiga, dilanjut dengan praktikum dua jam menguras tenaga dan emosiku. Yah, semenjak aku kuliah jurusan kebidanan di salah satu kota yang terkenal dengan kota pelajar ini, hampir membuatku merana setiap harinya. Hidup jauh dari keluarga dengan layanan tempat seadanya demi menggenggam impianku.
Suasana berbeda kurasakan. Begitu ramai kota Jogja mulai dari bangunan, baik yang megah ataupun sederhana. Kendaraan, baik yang beroda empat hingga beroda dua, dan tak lupa kendaraan bertenaga kuda mengisi ruas jalan. Penghuni kota jojga, baik orang asli jogja sendiri hingga yang berasal dari luar kota, daerah, dan pulau. Aku juga menambah kependudukan baru di sini. Berasal dari kota kecil Wangon, Purwokerto yang terkenal dengan bahasa banyumasan, si ngapak inyong. Berada di kota jogja satu setengah tahun yang lalu mengenalkanku bahasa jawa lain yang penuh kelembutan. Bangunan yang kupilih dari berbagai macam bentuk, aku pilih yang sederhana. Sekotak kecil dalam ruangan yang mampu berisi tempat tidur, lemari dan macam barang bawaan. Mungkin lebih tepatnya disebut dengan kos – kosan. Menjadi anak kos di Jogjakarta. Yang tadinya hidup serba enak di rumah mulai dari tidur, kebutuhan makan dan mandi terlayani dengan sempurna kini harus merela untuk melayani diri sendiri dan berbagi dengan yang lain. Banyak yang bilang ngekos bikin mandiri. Aku mengiyakan, karena telah merasakan.
Aku tertawa riang dengan dua temanku. Anggun dan Nita di sepanjang menuju kos. Dua sahabatku yang aku kenal di Jogja. Mereka berdua berasal dari daerah yang berbeda. Anggun dari Solo dan Nita dari Surabaya. Jika kami berbicara dengan bahasa kami masing – masing tentunya arah kebingungan kami tidak akan nyambung sedikitpun. Inilah Indonesia banyak bahasa namun pasti bisa disamakan persepsi dengan satu bahasa, bahasa Indonesia. Kami bertiga sama – sama satu jurusan dan bertempat dalam kos – kosan yang sama. Banyak cerita yang telah kami bagi dan banyak pula rasa yang dialami.  
Kami bersenda gurau menyusuri tapak jalan menuju kos yang tak jauh dari kampus. Membicarakan apapun yang terlintas dalam benak.
“May, sore ini kamu mau masak apa, perutku sudah mulai keroncongan nih?” tanya Anggun dengan muka menahan lapar.
“Huaaaa males buat masak lagi. Capek. Bantuin ya Nggun nanti pasti tahu apa menu makanan kita.” Rintihku memelas.
“No no no! kemaren aja aku minta bantuan kamu eh malah kabur. Hukuman tetap hukuman May. Siapa suruh minggu kemarin enggak bersihin kamar mandi. Dua hari jadi koki tanpa bantuan siapapun.”
“Hummm…. Nit, bantuin yah?” pintaku pada Nita.
“Hadduhh May aku masih sakit nih. Uhuk – uhuk masih batuk kan.” Jawab Nita dengan ekspresi dibuat.
“Dasar! bilang aja nggak mau bantu.” Kesalku.
Nita dan Anggun saling tos menandakan sepakat dari awal untuk tidak membantuku sama sekali. Aku mempercepat langkahku. Disusul oleh Anggun dan Nita. Mereka hanya bisa tertawa meledekku. Nita mengalihkan pembicaraan hukuman memasakku. Sederet cerita tentang Ikbal yang menjadi topik hangat kami kali ini. Ikbal, cowok keren berparas ganteng menarik perhatian kami bertiga. Dia ngekos tepat persis di depan kosanku. Ikbal tidak sendiri ada 3 kawannya ikut ngekos di rumah ibu dan bapak kos kami. Semula hanya tersedia kos untuk cowok. Ibu, bapak kos menambah ladang pundi pundinya di belakang rumah, khusus kos cewek. Ada tujuh ruang kamar dan tiga diantaranya di huni oleh kita bertiga. Penjagaan kos bukan main main. Di teras depan rumah ibu kos, dipasang papan bertuliskan “dilarang bagi tamu putra memasuki kosan putri”. Yap, menembus benteng pagar kosan harus bertemu dengan ibu kos dulu. Setidaknya untuk permisi. Kami tentunya disediakan bilik cantik untuk mengobrol.
 Untuk sekedar menyapa kosan depan juga terkadang sulit. Terutama dengan mas Ikbal. Lantaslah mereka beda jurusan dengan kami, namun masih dalam satu universitas. Dia dua tingkat lebih dulu dibandingku. Aku jarang berbincang dengan mas Ikbal. Yang aku kenal dekat malah teman yang satu kos dengan dia, mas Dika. Dia jauh lebih suka bertegur sapa dengan kami. Murah senyum beda dengan mas Ikbal yang kaku bibirnya tuk ditarik ke atas. Lewat mas Dika juga aku menanyakan tentang mas Ikbal. Mungkin mas Dika tahu jelas tentang rasaku yang tersembunyi.
Aku, Anita dan Anggun berjalan begitu lambat bak siput yang sedang menaiki tanjakan. Mungkin karena terlalu asyik mengobrol hingga kami terlarut dalam nuansa sore ini. Lurus dan ambil kanan untuk mencapai kosan kami. Sedikit lagi masuk ke belokan kanan. Suara motor dari arah belakang menarik perhatianku. Tak asing ku dengar. Lambat laun semakin dekat dan aku terkaget karna suara klakson motor. Mas Ikbal dengan helm yang sengaja dibuka dan menolehkan senyum padaku. Atau mungkin pada kita bertiga. Mas Ikbal tak sendiri, ada mas Dika yang diboncengnya.
“Duluan ya?” ajak mas Dika berlalu cepat. Dia melemparkan sesuatu padaku dan mengucap lirih untuk aku menangkapnya. Spontan aku tangkap benda itu. Ku buka perlahan. Sebuah gantungan kunci bertulis malioboro. Aku terheran dalam hati.
“Ciee… mas Dika kasih gantungan kunci nih.” Ledek Anggun dan mengambil gantungan dari tanganku. Anggun dan Nita menelusuri tiap lekuk gantungan kunci. Layaknya detective handal yang menyelusuri detail, barang kali ada yang mencurigakan.
“May, kok tampak udah usang sih, udah lama.” kata Nita. Aku melihat kembali. Gantungan tampak telah lama dipakai. Aku mengerutkan dahi. Segelintir pertanyaan memenuhi isi otakku. Aku menaruhnya disaku celanaku. Biarlah akan aku tanyakan nanti jika bertemu dengan mas Dika. Aku mendiamkan pertanyaan Nita. Pikiranku seolah cepat berlalu tentang gantungan kunci malioboro. Bayang mas Ikbal kembali berkelebat dalam pandang mataku
“Kalian lihat mas Ikbal nggak tadi. Senyumannya manis. Aku terseponalah.” Ucapku heboh.
“Ter-pe-so-na Maya.” Kata Anita meluruskan kataku.
Anggun dan Nita hanya menggeleng – gelengkan kepala melihatku begitu menggilai mas Ikbal. Mereka meledekku dengan segala guyonan mereka. Aku tersenyum manja dan memerahkan kedua pipiku. Aku nampak tak percaya melihat dia menganggukkan kepalanya dan membuka kaca helmnya. Bayangannya masih berkelebat di benakku tak mau hilang. Tak seperti biasanya dia begitu. Mungkin karena ada mas Dika sehingga dia mau beramah tamah denganku.
Hatiku melambung tinggi. Ingin berteriak keras bahagia membagi rasa pada semuanya. Menari – nari tarian romantis antara Romeo dan Juliet dibawah sinar rembulan. Hati seolah mekar seperti kembang sore yang berada dipinggir jalan. Nampak malu – malu untuk membuka kelopaknya. Dan mata berbinar seperti berlian yang berkilau di pagi hari. Semoga aku terlihat olehnya sebagai berlian yang perlu ia raih hatinya.
Tanpa terasa kos kosan ada di depan mata. Terparkir motor besar yang mas Ikbal kendarai tadi. Sayang, penghuninya berada di dalam. Aku berlalu pergi sambil memandang sepeda motor. Tersenyum – senyum sendiri sambil menyanyikan nada cinta dalam hati. Memasuki kamar kos yang tak seberapa luasnya. Merebahkan tubuh ke kasur. Melepas penat dengan membayangkan mas Ikbal kembali. Aku malu pada diriku sendiri. Menutup mukaku dengan bantal kecil. Mengguling – nggulingkan badan yang semakin terbuai oleh semerbak cinta menyelimuti.
“Hey mau sampai kapan kamu guling – guling nggak karuan gitu. Masak gih! Lapperrrr…”  Ledek Anggun yang memergokiku. Aku semakin malu. Kembali menata diriku yang berantakan. Mendorong anggun keluar dari kamarku. Mengganti pakaian dan segera bergelut dengan berbagai bumbu masakan. Dulu aku buta dengan bumbu – bumbu dapur yang ruwet jika dihafalkan satu persatu. Tak bisa masak. Entah itu gosong, keasinan, terlalu matang dan apapun bermacam bentuk. Di rumah memang aku tak pernah menyentuh dapur dalam urusan masak. Pekerjaan memasak aku tak suka. Di kos ini Anggun dan Nita mengajariku cara memasak. Menjadi guru masakku. Kadang sering bertengkar gara – gara makanan. Biasa selera lidah yang berbeda dengan bumbu masakan khas dari daerah masing – masing.
Makanan terhidang kami berkumpul untuk menyantap makan malam. Sayur kacang panjang dan telur dadar menjadi menu makan malam kami. Aku lupa mengambil krupuk yang ku taruh di kamarku. 
“Nit, minta tolong sekalian ambilin hape yang di meja yah?”
“Okeh, yang penting jajanan tak rampok semua.”
“Persediaan Nit.”
“May, ada tiga panggilan tak terjawab dari Mas Iik nih! Ciee siapa tu mas Iik?” teriak Nita dari kamarku. Ia keluar dengan membawa krupuk di tangannya dan hapeku juga. Ia langsung menyerahkannya padaku. Kembali menyantap makanan. Aku tak menghiraukan panggilan itu. Hapeku kembali bergetar. Sms masuk. Ku buka sms dari mas Iik.
“Siapa si May?” tanya Nita kembali penuh penasaran.
“Ada deh mau tau aja.” Aku menyudahi makan malamku. Mencuci piring dan segera kembali ke kamar mengambil jaketku.
“Mau kemana?” tanya Anggun.
“Keluar sebentar.” Aku langsung keluar tanpa menjelaskan apa keperluanku keluar. Terdengar suara bisikan dari Nita dan Anggun namun tak kuhiraukan. Aku tahu pasti mereka ingin tahu apa yang terjadi. Akan kujelaskan nanti saja. Tanganku menggenggam gantungan kunci yang bertulis malioboro. Suara degub jantungku begitu cepat kedengarannya seperti pacuan kuda. Tak karuan. Melangkah ke depan dan berjalan menuju rumah ibu kos. Tanganku berkeringat. Aku merabanya semua jemariku dengan ibu jari. Meremas gugup dengan apa yang aku akan lakukan. Aku tepat berada persis depan pintu. Mengetuk atau tidak. Kuurungkan niatku. Membalikkan badanku ingin kembali ke kos saja. Baru satu langkah aku berhenti. Membalikkan kembali badanku. Mengetuk yakin pintu rumah ibu kos.
Tok tok tok . . . .
“Assalamu’alaikum….” Ucap salamku. Satu kali salam belum ada jawaban. Dari luar sini terdengar suara ramai sedang menonton televisi. Aku mengulangi salamku lebih keras. Beberapa detik kemudian ibu kos menjawab salamku. Ia segera membukakan pintu untuku.
“Wa’alaikumsalam. Eh mbak Maya. Ada apa ini kok sendirian ke sini, yang lain mana? Mari masuk mbak.”
“Iya ibu terima kasih, Maya hanya sebentar kok. Itu ibu mas Dikanya ada. Mau ngembailiin barangnya mas Dika.”
“Oh, sebentar ya tak panggilin. Mas Iik ada mbak Maya.”
Terdengar mas Dika menjawab cekatan panggilan ibu. Segera ia menampilkan diri padaku. Ibu kos meninggalkan kami di teras rumah. Segera ku ulurkan tanganku dan membuka genggaman.
“Nih gantungannya. Lenjeh banget! Mas Iik yang ngasih, eh minta dikembaliin. Huu.. dasar!” kataku kesal sambil menyerahkan gantungan kunci. Mas Dika tak menerimanya ia malah menyembunyikan tangannya. Memanggil mas Ikbal untuk keluar.
“Ikbal! Keluar sebentar. Ini punyamu bukan?” teriak mas Dika. Aku mengernyitkan dahiku. Apa yang mas Dika lakukan sungguh tak bisa aku tebak. Mas Dika menaikkan alisnya ke atas. Mencoba menggodaku denghan senyum mencurigakan darinya. Aku masih ternganga dengan apa yang ia buat.
 “Good luck yah.” Mas Dika mengacak rambutku. Aku segera merapihkannya. Mas Ikbal keluar dari kamarnya. Aku menarik nafas panjang. Melihat mas Ikbal membuatku tak berkutik apapun.
“Apanya yang punyaku?” tanya mas Ikbal menghampiri kami berdua.        
“Tuh di Maya. Haduh aku ketinggalan pertandingan bolaku.” Kata mas Dika dan segera pergi sambil menepuk bahu mas Ikbal. Aku tak tahu apa yang diisyaratkan mas Dika pada mas Ikbal. Terlalu rumit untukku.
Melihat kursi yang tersedia di teras depan. Mas Ikbal menyuruhku untuk duduk sebentar. Aku pun menurutinya.
“Apanya yang punyaku May?” tanya mas Ikbal.
“Gantungan kunci malioboro, kata mas Dika ini punya mas Ikbal.”
“Owh, nemu dimana? Aku malah nggak nyadar ini hilang. Makasih yah?”
“Ia sama – sama mas. Mmm. . . jatuh waktu kita pas pasan tadi. Ya udah aku mau pulang ke kos mas.” Kataku gugup.
“Loh udahan, nggak main dulu.”
“Nggak mas.” Aku ingin bergegas menyudahi pembicaraanku dengan mas Ikbal. Karena semakin ku disampingnya semakin panas dingin tubuhku.
“Jangan terlalu kaku berbicara denganku May, nyante aja. Padahal aku ingin ngobrol banyak denganmu.” Lanjut mas Ikbal yang seolah mencegatku untuk tidak segera kembali. Aku hanya tersenyum kecil. Menggaruk rambut tandaku kebingungan.
“Besok kuliah jam berapa?” tanya mas Ikbal
“Biasa jam delapan mas.”
“Hemm seperlunnya aja nih jawabannya. Tadi kayaknya waktu sama Dika rame kamu May?”
Aku kembali tersenyum kecil. Tak tahu kata yang harus aku keluarkan untuk menyambung obrolan tadi. Rasanya hatiku terbelenggu oleh sesuatu yang lain dan seolah menahanku. Bodohnya aku yang terlihat terlalu kaku dengan mas Ikbal.
Suara hela nafas mas Ikbal terdengar olehku. Aku melihat wajah mas Ikbal yang memandangku. Rasanya ia ingin bicara banyak malam ini. Ia menyandarkan tubuhnya di punggung kursi. Mengalihkan pandangannya dengan menatap langit malam yang terlihat banyak bintang disana. Aku ikut memandangi langit. Indahnya bintang – bintang penyejuk malam. Mereka berbaris membentuk formasinya sendiri – sendiri. Menyentilkan titik cahaya tak menyilaukan mata.
“Aku terlalu bodoh untuk segera menyamankan seseorang bercerita denganku. Untuk bertemu dengan seseorang saja aku harus perlu bantuan terhadap temanku.” Kata mas Ikbal kembali.
“Maksudnya?” tanyaku tak tahu.
“Hemm…inilah yang membuatku iri pada Dika. Mengapa dia bisa dekat denganmu. Membuatmu marah dan tertawa olehnya. Terkadang aku membenci temanku sendiri hanya karena aku sering melihatmu bercerita dengannya. Selalu seperti ini.”
“Haduuhh mas Ikbal salah paham nih… Mas Dika tuh nyebelin. Dia selalu saja bikin aku jengkel. Panggil aja orangnya pasti dia nggak henti – hentinya menjahiliku. Aku benci mas Dika, yang aku suka tu mas . . .” aku berhenti meneruskannya. Tak ingin dia ketahui isi hatiku.
Mas Ikbal menarikkan alisnya ke atas.
“Mas siapa?” tanya mas Ikbal. aku hanya tersenyum. Tak ingin mengulangnya kembali. Namun mas Ikbal begitu ingin mengetahuinya. Ia mengulang pertanyaan kembali.
“Mas Dika kan?”
“Bukan.”
“Mas Ikbal?” tanya mas Ikbal mengucap namanya sendiri.
“Bukan. Eh..”
“Mas Ikbal, mas Dika?
“Mas . . .”
“Aku atau Dika?”
Aku terhenyak sekejap. Mas Ikbal mencecarku. Terkaget juga mas ikbal menyebutkan namanya untuk aku suka. Hatiku rasanya tak karuan dicecar dengan dua nama itu.
“Sudahlah, tidak penting saat ini Maya suka dengan siapa. Tapi aku mulai sekarang ingin menjadi teman dekatmu. Lebih dekat daripada Dika.”
Mas Ikbal meninggalkanku. Ia seolah tak ingin kembali memandangku yang bingung. Benarkah ia marah? Atau apa yang terjadi dengan perasaan dia. Dan haruskah aku bahagia karena mas Ikbal bicara jujur tentang hatinya tadi. Aku tak mengenali perasaanku sendiri. Tak seperti tadi yang gugup penuh peluh keringat. Aku hanya terdiam seperti orang kebingungan di persimpangan jalan. Ingin bertanya pada siapa mana jalan yang harus ku ambil. Aku terlalu rumit dengan perasaanku ini. Mas Ikbal begitu tampak lain.
Aku segera berdiri. Beranjak melangkahkan kaki. Menanyakan pada diriku sendiri. Suka? Yah aku yakin dengan hatiku bahwa aku menyukai mas Ikbal. Isi otakku dipenuhi olehnya. Namun mengapa perkataan mas Ikbal tadi tak sedikitpun yang membuatku bergetar. Apa aku terlalu bodoh untuk meresapinya. Apa yang aku fokuskan tadi. Pearasaan suka? Mas Ikbal apa mas Dika? Aku hanya tersenyum. Mas Ikbal begitu naif. Jelas saja aku menyukainya. Apa yang membuat ia salah tangkap. Aku dan mas Dika hanya teman yang saling menyebalkan satu sama lain. Toh mas Dika tahu bahwa aku menyukai mas Ikbal. Dia juga membantu mas Ikbal untuk bertemu denganku malam ini. Bodoh! Bodoh! Bodoh! Harusnya tadi aku langsung jawab saja pertanyaan mas Ikbal siapa yang aku suka.
Aku membinarkan mata. Berlari kembali dan ingin segera menemui mas Ikbal. Pintu masih terbuka. Segera aku memanggil Mas Ikbal. Aku menunggu tak sabar. Membalikkan badanku dan melihat bintang yang seolah tersenyum padaku.
“Apa lagi May, Ikbal lagi ke kamar kecil.”
Aku membalikkan badanku. Melihat mas Dika yang berada di depanku. Angin menghempasku. Mendinginkan seluruh tubuh ini. Degub jantungku kembali tak berirama seperti biasanya. Aku mengusap kedua tanganku. Memandang lekat mas Dika yang berada tepat di depanku. Semakin mendekat padanya. Mas dika semakin mundur dan mengeryitkan dahinya. Aku semakin tak menentu dengan pandanganku. Mas Dika mengarahkan jari telunjuk ke dahiku. Dan memundurkanya. Dia mengecek dahiku dengan telapak tangan dan membandingkan dengan suhu di dahinya.
“Aduh May, kapan kamu kambuhnya? Gawat nih habis ketemu Ikbal jadi gila kamu.”
“Isshhh. . . jangan ngacolah mas.”
Aku masih memandang mata mas Dika. Serasa sayup ia memandangku. Tak ada yang ia sembunyikan dariku. Aku merasa akulah yang menyembunyikan sesuatu padanya. Mengapa mas Dika begitu mudah untuk ku jelaskan.
“Mas Dika kenapa kamulah yang mebuat hatiku semakin bimbang?” kataku lirih tak sadar.
“Apa May?”
“Hah! Apanya yang apa?”
“Bener nih anak tambah gila. Dah sana pulang.”
Aku masih terdiam. Hatiku berasa dengan mas Dika atau mas Ikbal. Mengapa perasaan yang tak ku kenal kembali datang. Tak tahu kenapa rasa ini semakin melonjak bertemu dengan mas Dika dan tak mau hilang pikiran ini tentang mas Ikbal.
“Yah yah, yuk tak anter pulang.”
Mas Dika menarik tanganku. Menyeretku kembali ke kosan. Tangan mas Dika terasa hangat menyentuhku. Begitu nyaman. Dan tak ingin ku lepas. Entah mengapa aku ingin menangis. Sebutir tetes hangat menyentuh pipiku. Teringat kembali cecaran mas Ikbal padaku. “Siapa yang kau suka? Mas Ikbal,mas Dika? Aku atau Dika?” Aku berusaha mendengar jerit hati kecilku yang jujur. Diakah yang memang aku suka, aku cinta?